Simon Deng, pria Sudan, bekas seorang budak, adalah salah satu tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) yang berani berbicara “benar adalah benar” dan “salah adalah salah [Matius 5:37].” Ia bahkan berani mengeritik cara kerja PBB. Ia telah diundang untuk berbicara dihadapan banyak pemimpin dunia. Ia adalah penggerak Sudan Freedom Walk, suatu aksi damai menentang penyalahgunaan HAM atas bangsa Sudan hitam.
Di bawah ini adalah pidato resmi Simon Deng di hadapan pemimpin dunia pada Konferensi Durban III.
Saya ingin berterima kasih para penyelenggara konferensi ini, The Perils of Intoleransi Global. Ini adalah kehormatan besar bagi saya dan itu adalah sungguh suatu hak istimewa berada di antara pembicara terkemuka saat ini.
Saya datang ke sini sebagai sahabat negara Israel dan orang-orang Yahudi. Saya datang untuk memprotes konferensi Durban yang didasarkan pada serangkaian kebohongan-kebohongan. Itu diselenggarakan oleh negara-negara yang adalah turut bersalah dari berbagai macam penindasan yang terburuk.
Ini tidak akan membantu korban rasisme. Ini hanya akan mengisolasi dan menargetkan negara Yahudi. Ini adalah alat dari musuh-musuh Israel.
PBB sendiri telah menjadi alat melawan Israel. Selama lebih dari 50 tahun, 82 persen dari pertemuan-pertemuan darurat Majelis Umum PBB (the UN General Assambly) mengecam satu negara – Israel. Hitler tidak bisa dibuat lebih berbahagia!
Konferensi Durban adalah kemarahan. Semua orang jujur akan mengetahui itu.
Tetapi teman-teman, saya datang ke sini hari ini dengan sebuah ide radikal. Saya datang untuk memberitahu Anda bahwa ada orang yang menderita di bawah anti-Israelism PBB bahkan lebih dari orang-orang Israel. Saya termasuk salah satu dari orang-orang tersebut.
Tolong dengarkan saya.
Dengan membesar-besarkan penderitaan orang Palestina, dan dengan menyalahkan orang Yahudi untuk itu, PBB telah meredam keluhan mereka yang menderita dalam skala yang jauh lebih besar.
Selama lebih dari lima puluh tahun penduduk kulit hitam asli Sudan – Kristen dan juga Muslim – telah menjadi korban dari kebrutalan, rezim rasis Muslim Arab di Khartoum [negara Sudan].
Di Sudan Selatan [sekarang sudah menjadi negara merdeka], tanah air saya, sekitar 4 juta orang laki-laki, perempuan dan anak dibantai dari 1955-2005. Tujuh juta telah mendapat pembersihan etnis dan mereka menjadi kelompok pengungsi terbesar sejak Perang Dunia II.
PBB prihatin dengan apa yang disebut para pengungsi Palestina. Mereka [orang PBB] membuat sebuah lembaga terpisah untuk mereka, dan mereka diperlakukan dengan hak istimewa.
Sementara itu, bangsaku, dihapus secara etnis, dibunuh dan diperbudak, adalah relatif diabaikan. PBB menolak untuk memberitahu dunia kebenaran tentang penyebab sesungguhnya dari konflik Sudan. Siapakah yang tahu benar-benar apa yang terjadi di Darfur? Ini bukan “konflik suku.”
Ini adalah konflik yang berakar pada kolonialisme Arab yang telah terkenal di Afrika utara. Di Darfur, sebuah wilayah di Sudan Barat, semua orang adalah Muslim. Semua orang Muslim karena orang-orang Arab telah menjajah Afrika Utara dan penduduk asli dipaksa pindah ke Islam. Di mata para Islamis di Khartoum, Darfur bukan Muslim yang benar. Dan Darfur tidak ingin di Arab-kan.
Mereka mencintai bahasa-bahasa Afrika mereka sendiri dan gaun dan adat istiadatnya. Respon bangsa Arab adalah genosid! Tapi tak seorang pun di PBB menceritakan kebenaran tentang Darfur.
Di Pegunungan Nuba, wilayah lain di Sudan, genosida sedang berlangsung saat saya berbicara. Rezim Islamis di Khartoum menargetkan orang Afrika hitam – Muslim dan Kristen. Tidak ada orang di PBB mengatakan kebenaran tentang Pegunungan Nuba.
Apakah engkau mendengar PBB mengutuki rasisme Arab terhadap orang-orang kulit hitam?
Apa yang Anda temukan pada halaman koran New York Times, atau dalam catatan kecaman-kecaman PBB adalah “kejahatan bangsa Israel” dan penderitaan Palestina.
Bangsaku telah diusir dari halaman depan media karena [media internasional] membesar-besarkan penderitaan Palestina.
Apa yang Israel lakukan adalah digambarkan sebagai dosa Barat. Tapi kebenaran adalah bahwa dosa yang sebenarnya terjadi ketika Barat meninggalkan kami: para korban dari bangsa Arab / Islam apartheid.
Perbudakan dipraktekkan selama berabad-abad di Sudan. Ini dihidupkan kembali sebagai alat perang di awal 90-an.
Khartoum menyatakan jihad melawan bangsaku dan pengambilan budak-budak ini dilegitimasi sebagai harta rampasan perang.
Milisi Arab telah dikirim untuk menghancurkan desa-desa Selatan dan dianjurkan untuk mengambil perempuan dan anak-anak Afrika sebagai budak-budak.
Kami percaya bahwa 200.000 orang telah diculik, dibawa ke Utara dan dijual kedalam perbudakan.
Saya adalah bukti hidup dari kejahatan melawan kemanusiaan!
Saya tidak suka berbicara tentang pengalaman saya sebagai seorang budak, tetapi saya melakukannya karena itu adalah penting bagi dunia untuk tahu bahwa perbudakan ada hingga saat ini.
Saya hanya berusia sembilan tahun ketika tetangga seorang Arab bernama Abdullahi menipu saya untuk mengikuti dia ke perahu. Perahu berlabuh di Sudan Utara di mana ia memberi saya sebagai hadiah kepada keluarganya. Selama tiga setengah tahun aku budak mereka melewati hal-hal yang tidak seharunya seorang anakpun harus melaluinya: pemukulan-pemukulan brutal dan berbagai penghinaan; bekerja sepanjang waktu; tidur di tanah dengan hewan-hewan; makan makanan sisa. Selama tiga tahun saya tidak dapat mengucapkan kata ”tidak.”
Semua yang telah dapat saya katakan adalah ”ya,” ”ya,” ”ya.”
PBB telah tahu tentang perbudakan orang Selatan Sudan yang dilakukan oleh orang Arab. Staf (pekerja) mereka sendiri telah melaporkan hal tersebut. UNICEF memerlukan – di bawah tekanan dari American Anti-Slavery Group yang dipimpin oleh Yahudi – enam belas tahun untuk mengakui apa yang telah belangsung. Saya ingin berterima kasih secara terbuka kepada teman saya Dr. Charles Jacobs untuk memimpin perjuangan anti-perbudakan.
Namun pemerintah Sudan (Utara) dan Liga Arab telah menekan UNICEF, dan UNICEF mengambil langkah mundur, dan mulai mengkritik mereka yang bekerja untuk membebaskan para budak suku Sudan. Pada tahun 1998, Dr Gaspar Biro, Reporter Khusus PBB yang berani pada HAM di Sudan yang melaporkan tentang perbudakan, mengundurkan diri sebagai protes terhadap tindakan PBB.
Teman-temanku, hari ini, puluhan ribu orang hitam Sudan Selatan masih melayani tuan mereka di Utara dan PBB tetap diam tentang itu. Ini akan menyinggung OIC (OKI) dan Liga Arab.
Sebagai mantan budak dan korban paling buruk dari rasisme, izinkan saya untuk menjelaskan mengapa saya berpikir memanggil Israel sebuah negara rasis sama sekali tidak masuk akal dan tidak bermoral.
(Baca pengakuan Kasim Hafeez, mahasiswa Inggris yang sangat anti-Israel, setelah ia melihat bukti-bukti di Israel, sekarang ia menjadi pembela Israel). Saya telah berkunjung ke Israel lima kali mengunjungi para pengungsi orang Sudan. Biarkan saya memberitahu Anda bagaimana mereka berakhir di sana. Mereka adalah orang-orang Sudan yang melarikan diri rasisme Arab, berharap menemukan tempat tinggal di Mesir. Mereka salah. Ketika pasukan keamanan Mesir menyembelih dua puluh enam pengungsi hitam (Negro) di Kairo yang memprotes rasisme Mesir, Orang Sudan menyadari bahwa rasisme Arab adalah sama di Khartoum atau di Kairo. Mereka membutuhkan tempat tinggal dan mereka menemukannya di Israel. Menghindari peluru dari patroli perbatasan Mesir dan berjalan untuk jarak yang sangat jauh, satu-satunya harapan para pengungsi adalah menjangkau sisi pagar negara Israel, di mana mereka tahu mereka pastilah akan aman.
Muslim-muslim hitam dari Darfur memilih Israel di atas semua negara-negara Arab-Muslim lainnya di daerah tersebut. Apakah Anda tahu apa artinya ini!!!?? Dan orang-orang Arab mengatakan Israel adalah rasis!!!?
Di Israel, orang-orang hitam Sudan, Kristen dan Muslim, disambut dan diperlakukan seperti manusia layaknya. Pergilah dan bertanya kepada mereka, seperti telah saya lakukan. Mereka mengatakan kepada saya bahwa dibandingkan dengan situasi di Mesir, Israel adalah “surga.”
Apakah Israel negara rasis? Untuk bangsaku, orang-orang yang tahu (apa itu) rasisme – jawabannya adalah absolutly tidak. Israel adalah negara orang yang warna (kulitnya) pelangi (artinya multi ras). Yahudi sendiri datang dalam semua warna, bahkan hitam. Saya bertemu dengan orang-orang Yahudi Ethiopia di Israel. Yahudi-yahudi hitam yang indah.
Jadi, ya … Saya datang ke sini hari ini untuk memberitahu Anda bahwa orang yang paling menderita akibat kebijakan PBB anti-Israel bukanlah bangsa Israel tetapi semua orang yang PBB abaikan supaya (dapat) mengatakan kebohongan besar PBB menentang Israel: kami, para korban dari penyalah gunaan Arab/ Muslim: para wanita, para minoritas etnis, para agama minoritas, para homoseksual, di dunia Arab / Muslim. Ini adalah korban terbesar dari PBB benci-Israel.
Lihatlah situasi para Koptik (Kristen) di Mesir, para orang Kristen di Irak, dan di Nigeria, dan di Iran; orang Hindu, dan Bahai yang menderita penindasan Islam. Para Sikh. Kami – sebuah koalisi pelangi para korban dan sasaran para pelaku Jihad – semuanya menderita. Kami diabaikan, kami ditinggalkan. Sehingga kebohongan besar menentang orang Yahudi dapat terus berlanjut.
Pada tahun 2005, saya mengunjungi salah satu kamp pengungsi di Sudan Selatan. Saya bertemu dengan seorang gadis berusia dua belas tahun yang mengatakan kepada saya tentang mimpinya.
Dalam mimpi dia ingin pergi ke sekolah untuk menjadi dokter. Dan kemudian, ia ingin mengunjungi Israel. Saya sangat terkejut.
Bagaimana mungkin gadis pengungsi yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Utara tahu tentang Israel? Ketika saya bertanya mengapa ia ingin mengunjungi Israel, gadis ini berkata: “Ini adalah bangsa kita.” Saya tidak pernah bisa menemukan jawaban atas pertanyaan saya.
Pada tanggal 9 Januari tahun 2011 Sudan Selatan menjadi negara merdeka. Untuk Sudan Selatan, itu berarti kelanjutan dari penindasan, brutalization, demonisasi, Islamisasi, Arabisasi dan perbudakan.
Dengan cara yang sama, orang Arab terus menolak hak orang Yahudi untuk kedaulatan di tanah air mereka dan konferensi Durban III terus menyangkal legitimasi Israel.
Sebagai teman Israel, saya membawa kabar bahwa Presiden saya, Presiden Republik Sudan Selatan, Salva Kiir – secara terbuka menyatakan bahwa Kedutaan Besar Sudan Selatan di Israel akan dibangun – bukan di Tel Aviv (sebagaimana kantor kedutaan negara Barat berada), tapi di Yerusalem, ibukota abadi bangsa Yahudi.
Saya juga ingin meyakinkan Anda bahwa negara baru saya, dan semua masyarakatnya, akan menentang forum-forum rasis seperti Durban III. Kami akan melawannya dengan hanya terus mengatakan yang benar! Kebenaran kami!
Teman-teman Yahudi saya mengajarkan saya sesuatu yang sekarang saya ingin mengatakan kepada Anda.
AM YISRAEL CHAI! – Orang-orang Israel hidup!
Terima kasih.
Bacaan berkait:
- Simon Deng, Video interview: Part 1. ; Part 2 ; Part 3.
- Nonie Darwish and Simon Deng at Freedom Center’s Islamic Apartheid Conference
- Buku dokumentasi: Slavery, Terrorism And Islam by Peter Hammond
- Autobiography- Slave: My True Story by Mende Nazer (from Nuba Mountains)
- Raja Saudi membuka konferensi kebebasan beragama di PBB
- Wikileaks: Pesta para pangeran Saudi beda jauh dari yang diharamkan Islam
- Berhadiah 50 ribu dollar jika ada kota di Timur Tengah lebih demokrasi dari Yerusalem
Referensi:
- Text diterjemahkan dari: A Remarkable Speech by a Sudanese Slave at the “Durban Conference”
- Simon Deng, by Speaking matters.org
Artikel ini boleh dipakai, namun sertakan alamat situsnya https://senjatarohani.wordpress.com/. Hargailah karya tulis orang lain. Salam dan terima kasih, Senjata Rohani’s Weblog
Filed under: Sosial dan Politik | Tagged: Islamisasi, PBB, pelanggaran HAM, perbudakan, Sudan | 1 Comment »